Books and Movies · Diskusi

Sesi Tanya – Jawab Materi 5 Matrikulasi Koordinator IIP

Materi #5 Matrikulasi Koordinator IIP
Learn How To Learn

1. Siti Aisah – IIP Cianjur
Assalamualaikum bu.
Bagaimana caranya menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di rumah, dua putra saya yang kecil 7 dan 5 tahun sangat aktif beda dengan 3 kakaknya yang lebih kalem โค Terima kasih.

Jawab :

Bunda Siti Aisah,
pertama harus pahami dulu gaya belajar anak-anak kita itu tipe apa?

Kemudian apa yang diminati oleh masing-masing anak kita?

Setelah kita “profiling” masing-masing anak kita, maka mulai membuat “desain pembelajaran”ย untuk masing-masing anak. Setelah itu pelajari yang namanya manajemen kelas. Sehingga pengelolaan aktivitas harian kita bersama anak-anak bisa memenuhi domimansi gaya belajar mereka masing-masing.

2. Anonim
Assalamu’alaikum Bu Septi.
1. Apakah stimulasi yang sama terus menerus pada anak menciptakan karakter tersebut pada anak?

Misal, saat bersama yangkung dan utinya setiap malam putri saya (19 bulan) suka sekali dinyanyikan lagu anak-anak. Karena rumah kami nyambung bersebelahan. Akhirnya sedikit-sedikit putri saya meminta saya menyanyikan lagu-lagu tersebut ketika bersama saya. Dan putri saya menikmatinya. Sebetulnya saya pribadi kurang setuju karena terkadang nyanyian-nyanyian jawa agak kasar yang liriknya kurang pas didengar balita saya.

2. Sejujurnya saya bukan orang yang pandai berkomunikasi dengan bapak ibu mertua perihal perbedaan pengasuhan anak maupun intervensi terhadap rumah tangga kami. Akhirnya selama ini saya hanya bisa dongkol dalam hati jika ada yang tidak berkenan di hati saya. Seperti gunung es. Saya sampaikan pada suami. Suami bantu sedikit-sedikit menyampaikan tetapi tidak pernah tuntas. Kami hampir tidak memiliki pilihan berpisah. Bagaimana tips memulai komunikasinya ya Bu Septi? Dalam hati sesungguhnya saya ingin merawat rumah tangga dan anak-anak sendiri (hingga ketika mengandung putri saya, saya resign) tetapi intervensi dari mertua sungguh luar biasa. Kalo sedang marah, saya hanya diam terhadap mereka. Takut saya muntab marah. Biasanya muntab nya sy keluarkan pada suami. Kasihan juga sebetulnya.

Terimakasih bu mohon pencerahan.

Tambahan: ketika saya berupaya memaafkan bapak ibu mertua, hati sedang berproses lapang menerima. Ada dan ada lagi yang tidak berkenan di hati saya. Karena itu tadi intervensinya luar biasa. Beliau berdua memang ingin selalu terlibat dan berpandangan bahwa orangtua pasti mengintervensi rumah tangga anaknya.

Jawab :

Bunda,
dari 2 tantangan yang bunda kemukakan, kuncinya hanya satu
“Berdamailah dengan kondisi kita saat ini”.

Terima dengan ikhlas, kalau memang tidak bisa, pindah rumah.

Setelah itu amati karakter mertua, kira-kira gaya komunikasi apa yang paling tepat kita terapkan. Apakah mertua senang hadiah, senang dipuji atau senang disayang dengan sentuhan. Cobalah memahami mertua, dari sana nanti bunda bisa membuka komunikasi yang enak. Dan urusan anak menjadi lebih ringan, termasuk stimulus yang diberikan berulang dan karakter yang terbentuk.

3. Ety – IIP SulSel
Ibu mohon diberi contoh kasus menerapkan belajar cara berbeda :
1. Keterampilan jari jempol = how, dan seterusnya.
2. Struktur berfikir
3. Anak aktif mencari

Jawab :

Bunda Ety,
kalau kita perhatikan di NHW #5 ini bunda sedang praktek “Cara belajar yang berbeda”. Ada topik “Desain Pembelajaran”

Mulailah semua heboh, mulai dari apa itu desain pembelajaran (5W + 1 H) mulai bermunculan.

Kemudian saya tidak buru-buru memberikann jawaban justru kembali bertanya. Sehingga membuat teman-teman aktif mencari sumber. Aktif berdiskusi dan lain-lain.

Saat ini kita sedang mengasah “Struktur Berpikir” bunda semua. Apakah mulai terlihat jelas, struktur berpikir itu apa? ๐Ÿ˜

Let’s find out ….

4.ย Hanni – IIP Bogor
Bu Septi, terkait penyataan ‘meninggikan gunung’ bukan ‘meratakan lembah’. Bagaimana halnya dengan seorang pengajar/guru bimbel. Sebagian besar orang tua mengikut sertakan anak mereka bimbel karena anak-anak mereka lemah & memperoleh nilai kurang memuaskan di mata pelajaran tersebut. Apakah ini berarti si ‘pengajar tersebut sedang ‘meratakan lembah?’

Rasanya terbebani sekali jika berhadapan dengan anak didik seperti itu. Mereka sebenarnya memang tidak menyukai mata pelajaran tersebut. Namun, karena tuntutan target nilai di sekolah akhirnya mereka ikut les. Apakah solusi yang dapat dilakukan, bu? Terima kasih.

Jawab :

Betul mbak Hani,
bermunculannya les pelajaran, ini indikator buruknya pendidikan di negeri ini.

Guru les tersebut secara tidak langsung sedang menjadi “pembunuh bayaran” ๐Ÿ˜ญ, yang dibunuh adalah potensi anak-anak, yang membayar adalah orangtua mereka.

Maka kalau saya dulu di jarimatika hanya menerima murid yang berminat di bidang matematika saja. Kalau yang tidak berminat, hanya karena ingin nilainya bagus di sekolah, saya tolak.

5. Vita – IIP Jakarta
Assalamu’alaikum Bu Septi yang baik & menginspirasi ๐Ÿ˜Š, berikut pertanyaan saya :
1. “Kita dapat menggunakan jari tangan kita sebagai salah satu cara untuk melatih keterampilan anak2 kita untuk bertanya.”

Teknis menggunakan jari tangan ini seperti apa bu? Apa hanya sebagai simbol saja?
Misal ketika saya bertanya dengan kata “how” maka saya sembari mengacungkan jempol ke anak?

2. Terkait strategi *Meninggikan Gunung bukan Meratakan Lembah*, saya merasa bahwa manusia adalah makhluk yang majemuk dengan kompleksitas tinggi, tidak sederhana. Lalu saya terbayang beberapa keadaan :

๐Ÿค”Bagaimana jika ada seorang anak yang kuat sisi otak kanannya? Haruskah dia diasah pada sisi tersebut? Tidakkah akan terjadi kepincangan fungsionalitas antara otak kanan dan otak kiri? Padahal, bukankah keduanya seharusnya saling melengkapi?

๐Ÿค”Jika ada anak tipikal introvert, suka detil, suka belajar dan “nggethu” menyendiri, akhirnya menjadi anak yang lemah dalam bersosialisasi. Bagaimana dan kapan menyeimbangkan antara kelebihan dia yang fokus saat menyendiri dengan tuntutan bahwa dia pun seharusnya bisa bersosialisasi?

Pertanyaan saya :
Kapan kah kita fokus “Meninggikan Gunung buka Meratakan Lembah” dan kapan kita fokus sebaliknya? Mungkin istilah saya, “Meratakan Lembah untuk Mendukung Gunung yang Tinggi”.

Terima kasih Ibu, semoga pertanyaan saya tidak membingungkan. ๐Ÿ™๐Ÿป

Jawab :

Mbak Vita,
saya selalu menjalani “permainan” bertanya dengan menggunakan simbol jari tersebut. Misal saya ambil kasus tentang “Banjir”.
Segera saya mainkan jari saya dan anak-anak membuat pertanyaan sebanyak-banyaknya dengan kalimat tanya pembuka sesuai jari yang keluar.

Misal : jari jempol = how

” Bagaimana proses terjadinya banjir?”

” Bagaimana cara mengatasi banjir di bandung?” dll.

Kemudian untuk strategi meninggikan gunung, bukan meratakan lembah adalah “Fokus pada kekuatan anak saja“, dan “Mensiasati segala kekurangannya“. Strategi mensiasati kekurangan ini bisa bermacam-macam, mulai dari berkolaborasi dengan teman yang karakternya saling komplemen, sampai dengan mengasah diri. Yang tidak saya lakukan adalah memaksakan apa yang tidak ada dan tidak mampu di diri anak.

6.ย Prima – IIP Malang
Assalamualaikum bu septi,
tentang perkembangan bahasa anak. Apakah masih termasuk konsep inside out? Bagaimana jika orang tua menginginkan bilingual? Sejak usia berapa anak di bolehkan belajar bilingual dan cara yang tepat seperti apa agar tetap inside out?

Jawab :

Wa’alaykumsalam mbak Prima,
tugas kita adalah menstimulus anak, mengenalkan sebanyak-banyaknya cara belajar, tapi tidak mendikte dan memaksanya sesuai kehendak kita. Kebutuhan bahasa ini akan muncuk seiring dengan passion anak.

Contoh Elan, tidak pernah sekolah dan tidak pernah les. Ketika masuk ke passion “bongkar pasang” maka dia belajar sendiri bahasa inggris secara otodidak, karena tutorial robot banyaknya berbahasa inggris. Sama juga dengan anak yang suka game, suka nyanyi, suka film, biasanya akan muncul perkembangan bahasa secara inside out.

7.ย Nesri – IIP Bogor
Seberapa pentingkah chores activity untuk anak? Terkait dengan minat, karena anak saya menolak melakukan daily chores dengan alasan ‘Bukan minatku’?

Jawab :

Mbak Nesri,
daily chores ini adalah untuk melatih “tanggung jawab” bukan untuk minat, meskipun di lebah putih ada anak yang sangat suka menjalankan “daily chores” sebagai manager toilet, karena bercita-cita ingin jadi “juragan toilet”.

Maka apabila anak kita tidak berminat di daily chores jadikan aktivitas tersebut sebagai latihan mini “project based learning”. Maka kreativitas kitalah yang dituntut agar anak memiliki project-project kecil menarik yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Sehingga bukan lagi dianggap sebagai tugas/beban.

8. Dwi Indah – IIP Bandung
Bu Septi yang baik, saya sangat setuju sekali dengan yang Ibu Septi sampaikan. Bahwa belajar/menuntut itu terus dilakukan sampai akhir hayat, dan yang terpenting adalah melaksanakan apa yang dipelajari dan tetap fokus.

Saya ada pertanyaan untuk materi ke 5 kali ini, yaitu:
1. Tentang mengetahui passion anak. Setelah kita mengetahui passion anak, dengan terlihat anak itu gembira melakukannya dan sangat menikmati suatu hal tersebut. Disisi lain, kita sebagai orang tua yang membersamainya melihat juga, sebenarnya si anak ini mempunyai potensi yang lain yang juga bagus. Mungkin karena selama ini kita sebagai orang tuanya belum meng-eksplore potensi tersebut secara optimal, sehingga si anak belum menyadari potensinya tersebut. Bagaimana menurut Ibu Septi, apa yang harus dilakukan agar si anak ini juga bisa melihat potensinya yang luar biasa tersebut tanpa memadamkan apa yang sudah menjadi passionnya?

2. Tentang meninggikan gunung.
Kadang kala dalam proses meninggikan gunung ini timbul kebosanan, bagaimanakah cara yang efektif untuk mengatasi rasa bosan yang muncul, walaupun proses yang dilakukan sudah sesuai passionnya.

3. Tentang tidak meratakan lembah, sejauh mana usaha kita agar kita tidak terjebak dalam kondisi yang “meratakan lembah” baik bagi diri kita sendiri maupun bagi anak kita…karena yang ditakutkan adalah…lembah itu terlalu “curam/dalam”, sehingga nantinya terlalu menikmati kenyamanan berada di lembah yang terlalu “curam/dalam” tersebut. Mohon pencerahannya.

Terima kasih atas Penjelasan dari Bu Septi.๐Ÿ‘๐Ÿป๐Ÿ˜Š

Jawab :

Mbak Dwi Indah,
masuklah dengan passion yang sudah ditemukan anak terlebih dahulu, sebelum kita menstimulus dengan passion yang “kita pikir/rasakan” ada di diri anak-anak. Tidak perlu dipaksakan.

Karena apabila anak masuk dengan passionnya, biasanya akan muncul turunan ilmu yang luar biasa dan tidak terduga.

2. Manajemen mengelola kebosanan itu ilmu penting. Maka biasanya untuk anak yang sudah menemukan passion di usia 10 tahun ke atas. Saya selalu tanyakan “apakah sudah mulai bosan?” Kalau sudah, maka saya hanya bilang “Keren, sekarang bunda mau lihat caramu menangani kebosanan itu” .

Tahapannya tonton dulu, setelah itu baru tuntun.

3. Tentang meratakan lembah, kalau bisa jangan dilakukan, krn hanya akan menghabiskan energi. Aktivitas ini yang selalu saya hindari ke anak-anak.

9.ย Sapta Handayani – IIP Semarang
Belajar bagaimana caranya belajar yang diterangkan Bu Septi apakah itu bisa di terapkan ke orang dewasa ? Mohon contohnya juga. Terimakasih.

Jawab :

Bu Sapta,
saat ini kita sedang melakukannya untuk orang dewasa ๐Ÿ˜, silakan diamati ya bu.

10.ย Desty – IIP Bekasi
Mulai usia berapa kah bakat anak mulai terlihat?
Karena anak saya usia 4 tahun cepat sekali bosan kalau belajar mewarnai, tapi kalau aktifitas di luar dia senang sekali, misal lari-lari, lempar tangkap bola. Apa hal tersebut masih bisa berubah? Makasih bu Septi.

Jawab :

Mba Desty,
mulailah tour de talents dulu sampai usia anak 7 tahun-an. Setelah itu akan berganti-ganti mencoba satu persatu.

11.ย Asty – IIP SulSel
Bu Septi, saya ulang-ulang terus materi 3 poin, dan berusaha menyinkronkan dengan keadaan keluarga saya dan akhirnya timbul pertanyaan…

1. Bagaimana menyemangati belajar anak pertama yang lebih menyukai menggambar/melukis, hingga terlihat malas untuk belajar hal lain seperti perhitungan ataupun hapalan. Sedangkan disekolah sekarang mengharuskan untuk berhitung dan menghapal.

2. Bagaimana mengetahui kesukaan anak 5 tahun yang masih mengekor apa yang kakak lakukan. Padahal sepenglihatan saya, adek tidak terlalu menyukai apa yang kakak lakukan, contoh : menggambar. Tapi saya pun masih bingung dengan apa yang adek sukai.

3. Mengenai cara belajar. Apakah harus dipisahkan jam belajar kakak yang SD dengan adik-adiknya yang TK bahkan belum sekolah? Karena kuatir akan terpengaruh sehingga menjadi gangguan fokus.

Terimakasih untuk jawabannya. Maaf kalau membingungkan.

Jawab :

1. Mbak Asty, apabila anak-anak kita suka menggambar maka jadikanlah gambar itu sebagai jalan masuk untuk pelajaran yang lain.
Contoh : kita akan mengajarkan perkalian lewat gambar, bahasa lewat gambar dan lain-lain.

2. Posisi adik biasanya memang ikut kakaknya, biarkan jangan dipisah dulu, kita sebagai ortu hanya tarik ulur saja. Misal tanyakan ke adiknya,
“Adik, kita mau makan di luar, kali ini adik yang memutuskan kita mau makan dimana?”

Latih terus dengan hal-hal kecil yang menuntut dia sebagai decision maker

3. Untuk belajar tidak perlu dipisahkan. Nanti mbak Asty bisa belajar bagaimana caranya mengelola kelas “majemuk”.

12.ย Karina – IIP Babel
Setelah baca materi #5 ini jadi teringat jawaban ibu tentang home based education.

Alhamdulillah, saat ini.. kami di amanahi anak laki-laki (6 tahun) dan perempuan (4tahun). Rasanya tinggal sebentar fase memandunya.

Dalam proses memandunya nanti, hal apa saja yang perlu di perhatikan, mengingat karakter anak-anak laki-laki dan perempuan yang berbeda?
Supaya bisa optimal dalam mendidik anak-anak generasi yang akan datang ini. Selain itu, struktur otak laki-laki dan perempuan yang berbeda, dan hal-hal lainnya..

Sekalian Bu, share positif nya dalam memandu anak-anak ibu.

Jawab :

Mbak Karina,
anak perempuan dan laki-laki secara fitrah tidak ada banyak perbedaan kecuali di fitrah seksualitas/gender saja. Krn secara fitrah anak laki disiapkan jadi imam keluarga dan anak perempuan jadi ibu manajer keluarga.

Maka didik anak-anak itu sesuai fitrahnya saja.

13.ย Maharani – IIP Garut
Assalamualaikum bu. Saya mengajar di kelas 3. Ada 3 anak pindahan yang masih belum bisa membaca dari sekolah terdahulu memang ada beberapa catatan. Namun ada beberapa kelebihan yang saya temukan yaitu kepedulian yang tinggi dan juga kemampuan bidang olahraga. Mereka juga menyukai hal-hal yang tidak mengharuskan berpikir keras. Beberapa strategi sudah saya coba. Namun belum berhasil. Mereka tampak putus asa kalau mulai saya ajak membaca walaupun dalam bentuk permainan. Menurut ibu apa yang sebaiknya saya lakukan?
Terimakasih.

Jawab :

Wa’alaykumsalam mba Maharani,
anak-anak itu akan muncul PD nya dengan melalui satu pintu potensi. Tugas kita adalah menemukan pintu tersebut dan membiarkan anak berproses menemukan kuncinya.

Kalau belum bisa membaca tapi sudah bisa bicara, maka biarkan anak-anak tersebut belajar dan menjawab soal dengan suaranya. Ini kami lakukan anak-anak di SD lebah putih.

Karena secara fitrah anak yang bisa bicara pasti bisa membaca, tinggal tunggu titik ledaknya saja.

Diresume oleh : Ahdiyati Marwa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s